
MNI|BOJONEGORO — Dewan Pimpinan Cabang Serikat Buruh Muslim Indonesia (DPC Sarbumusi) Kabupaten Bojonegoro menilai stagnasi kenaikan Upah Minimum Kabupaten (UMK) Bojonegoro dari tahun ke tahun tidak terlepas dari masih rendahnya pertumbuhan ekonomi daerah.
Ketua DPC Sarbumusi Bojonegoro, Amrozi, menegaskan bahwa kekayaan sumber daya alam, khususnya minyak dan gas bumi (migas), belum mampu memberikan efek berantai yang signifikan terhadap peningkatan perekonomian daerah secara menyeluruh.
“Artinya, melimpahnya sumber migas belum berdampak nyata terhadap pertumbuhan ekonomi Bojonegoro,” ujar Amrozi kepada awak media, Sabtu (27/12/2025).
Ia menjelaskan, penetapan UMK mengacu pada sejumlah parameter yang telah ditentukan pemerintah, salah satunya adalah tingkat pertumbuhan ekonomi yang dikalikan dengan faktor alfa. Rendahnya pertumbuhan ekonomi tersebut berdampak langsung pada besaran kenaikan UMK Bojonegoro.
Pada tahun 2026, UMK Bojonegoro hanya mengalami kenaikan sebesar Rp160.851, dari Rp2.525.132 pada 2025 menjadi Rp2.685.983.
“Kondisi ini membuat UMK Bojonegoro masih tertinggal dibandingkan kabupaten tetangga seperti Tuban dan Lamongan,” jelasnya.
Menurut Amrozi, besarnya Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Bojonegoro yang bersumber dari dana bagi hasil migas seharusnya dapat dimanfaatkan secara lebih optimal untuk mendorong sektor-sektor produktif nonmigas. Sektor pertanian, peternakan, perkebunan, UMKM, hingga pendidikan dinilai memiliki potensi besar untuk menjadi pengungkit pertumbuhan ekonomi daerah.
“Ini menjadi tantangan besar bagi Pemkab Bojonegoro bagaimana menggerakkan sektor-sektor lain agar pertumbuhan ekonomi meningkat. Mumpung kondisi fiskal Bojonegoro masih kuat. Jika terus seperti ini, sampai kapan pun UMK Bojonegoro akan kalah dengan daerah sekitar,” tuturnya.
Di sisi lain, Amrozi menilai rendahnya UMK Bojonegoro juga dapat menjadi peluang strategis bagi pemerintah daerah dalam menarik minat investor. Dengan biaya tenaga kerja yang relatif kompetitif, Bojonegoro berpeluang menjadi daerah tujuan investasi baru, baik melalui pengembangan kawasan industri maupun sektor ekonomi lainnya.
“Namun arah kebijakan harus diperjelas. Apakah Bojonegoro akan dikembangkan sebagai kota industri atau tidak, harus ada kepastian. Sampai hari ini hal itu belum terlihat jelas,” tegasnya.
Pandangan senada disampaikan Kepala Bidang Penelitian dan Pengembangan (Litbang) Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Bojonegoro, Yuseriza. Ia menilai kondisi UMK Bojonegoro yang masih relatif rendah justru bisa menjadi golden moment bagi pemerintah daerah untuk menarik investasi.
“Dengan UMK yang masih rendah, ini seharusnya menjadi peluang emas bagi Pemkab Bojonegoro untuk menarik investor,” kata Yuseriza saat menjadi narasumber dalam diskusi bertema ‘Trauma dan Calon Investor: Mitos atau Realitas’ di kanal YouTube Dewan Jegrank, beberapa waktu lalu.
Menurutnya, kepastian hukum dan ketersediaan kawasan industri yang representatif menjadi kunci utama dalam menarik investor agar bersedia menanamkan modalnya di Bojonegoro. Keberadaan kawasan industri dinilai mampu memberikan rasa aman sekaligus kepastian berusaha.
“Bojonegoro saat ini sedang menyiapkan itu. Kawasan industri akan menjadi zona aman bagi investor,” ungkapnya.
Yuseriza menambahkan, Bojonegoro memiliki potensi besar di berbagai sektor, mulai dari migas, pertanian, peternakan, perkebunan, hingga pariwisata. Potensi tersebut juga telah tertuang dalam dokumen Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) Bojonegoro 2025–2045, yang menetapkan Bojonegoro sebagai sentra energi negeri dan agroindustri.
“Kuncinya ada pada hilirisasi. Jika hilirisasi berjalan, produktivitas dan keterampilan tenaga kerja akan meningkat. Dengan begitu UMK akan naik secara alami, karena investor tidak ingin kehilangan tenaga kerja yang terampil dan ahli,” pungkasnya. Ngusman.


